Kec. Undaan, Kab. Kudus
Prov. Jawa Tengah
Desawatesundaan.kudus@gmail.com
Terkisah 5 (LIMA) abad yang lalu, Bumi Wates dan Undaan secara keseluruhan adalah sebuah hamparan laut. Pada saat itu Pulau Jawa dan Pulau Murya (Muria) terpisahkan dengan laut yang kemudian dikenal dengan sebutan SELAT MURYA.
Ketika Kanjeng Sunan Bagus Mukmin yang lebih dikenal dengan Sunan Prawoto (1546 M) melakukan perjalanan dari Padepokan Prawoto menuju Kadipaten Demak Bintoro menyusuri Selat Muria.
Ditengah perjalanan bertemu dengan dua gerombolan yang sedang perang tanding adu kadigdayaan atau adu kesaktian, oleh Kanjeng Sunan gerombolan yang sedang bertengkar itu dilerai namun bukannya berhenti bertarung yang kemudian terjadi kedua gerombolan itu malah berbalik secara serentak menyerang Kanjeng Sunan Prawoto.
Namun dengan kesucian hati gerombolan itu dapat dilumpuhkan hingga pada akhirnya bersimpuh memohon menjadi murid Kanjeng Sunan Prawoto.
Kepada para murid barunya Kanjeng Sunan Prawoto berfatwa :
“Bahwa terjadinya pertengkaran atau peperangan itu karena masing-masing tidak dapat menahan Emosi dan kemarahan, dalam istilah jawa ora iso meper howo napsu. Sing iso meper/ Matesi howo nafsu mung atine dewe-dewe. Maka kenanglah dan lestarikan bahwa tempat kalian Matesi Howo Nefsu iki mbesuk diarani Deso Wates.”
Waktu terus berjalan dan bumi pun mengalami perubahan, seiring berjalannya waktu dan berbagai kejadian berkisar pada abad 17-18 M Selat Murya (Muria) semula adalah laut pemisah antara pulau Murya (Muria) dengan Pulau Jawa pun terjadi pendangkalan, sehingga Pulau Muria dan Pulau Jawa menjadi satu.
Pada abad ke 18 dan 19 ketika kejayaan kerajaan Mataram, dibangunlah sungai yang memanjang dari sungai Lusi, sungai Wulan dan bermuara di laut Jepara. Sungai wulan menjadi sarana transportasi sungai dari Klambu, Undaan sampai dengan Wedung Demak dan Kedung Jepara.
Pada masa itu berkisar tahun 1800 M mulai ramai kegiatan perdagangan dengan jalur sungai, para pedagang dari Jepara yang melintasi kali wulan sesekali singgah di sebuah perkampungan kosong peninggalan Kanjeng Sunan Prawoto Perkampungan yang kemudian disebut dengan Desa Wates.
Adalah Nyai Seliyah, perempuan dari Jepara yang singgah di Wates pertama dan kemudian diikuti oleh teman-temannnya dan membangun perkampungan tersebut. Nyai Seliyahlah orang pertama yang membangun perkampungan Wates.
Ketika terjadi Perang Diponegoro (1825-1830) yang berakhir dengan ditangkapnya Pangeran Diponegoro karena tipu daya Kompeni, maka perang dilanjutkan oleh Nyai Ageng Serang.
Perang terus berkecamuk dan kerena kuatnya persenjataan dari Kompeni Belanda, maka pasukan Nyai Ageng Serang mundur. Selanjutnya para prajurit kemudian disarankan oleh Nyai Ageng Serang untuk melepaskan identitas keprajuritan, namun tidak boleh meninggalkan jiwa dan semangat Prajurit. Perang pada hakekatnya adalah merebut kemerdekaan dari cengkraman penjajah kompeni belanda. Kemudian diutuslah para prajurit Nyai Ageng Serang untuk menyebar ke daerah-daerah agar membangun masyarakat perkampungan menjadi lebih maju dan lebih baik sehingga cita-cita perjuangn tercapai meskipun tidak dengan peperangan.
Salah satu dari Prajurit adalah Ki Lengku (nama Samaran) yang diutus menyusuri kali Wulan menggunkan gethek (Perahu dari batang bambu). “Jangan berhenti dan turun sebelum ghetek itu berhenti”, begitu pesan Nyai Ageng Serang. Dengan berbekal semangat dan kepasrahan Pada Allah SWT, Ki Lengku menyusuri kali wulan, dalam posisi setengah tertidur gethek itu terhenti, maka Ki Lengku pun turun dan menyusuri lambiran kali wulan. Karena hari sudah malam Ki Lengkupun tertidur di bawah Pohon Puthat (tempat yang pernah disingahi Sunan Prawoto 500 tahun Silam). Sebelum subuh tiba Ki lengku terbangun dari lamunannnya oleh riuh kedatangan perahu rombongan dari Jepara yang sedang di begal oleh para rampok. Mendengar dan melihat kejadian itu maka Ki Lengku yang berlatar belakang seorang prajurit kemudian mendekati dan menyapa para rampok, maka terjadilah perkelahian yang sengit, para rampok pun berhasil dikalahkan tapi berhasil melarikan diri.
Salah satu dari penumpang perahu itu adalah Nyai Seliyah yang baru pulang dari Jepara mengambil peralatan untuk Nganteh/ Menenun, Ki lengku dan Nyai Seliyah bertemu pandang, bertaut hati dan bermuara di pernikahan.
Sejak itulah Ki Lengku dan Nyai Seliyah membangun keluarga dan meramaikan perkampungan yang kemudian menjadi desa yaitu Desa Wates. Pasangan Ki Lengku dan Nyai Seliyah menurunkan keturunan yang pada akhirnya menjadi Petinggi atau Kepala Desa di Wates.
Kepala Desa Wates yang pertama adalah Putra Ki Lengku Nyai Seliyah
Putra dari pasangan Ki Lengku dengan Nyai Seliyah bernama Oyong atau Mojoyo setelah menunaikan ibadah haji kemudian berganti nama menjadi Haji Mohammad Arif dan dikalangan masyarakat lebih dikenal dengan panggilan Mad Ngarip. Beliau inilah yang menjadi Lurah atau Kepala Desa Wates pertama kali dan berakhir pada kisaran tahun 1860 M. Kemudian Lurah atau Kepala Desa Wates dilanjutkan oleh putra beliau yang bernama Muhammad Sari atau Mad Sari, berikut daftar nama-nama Lurah atau Kepala Desa Wates setelah Mad Ngarip hingga sekarang :
Tempat dan nama yang melengkapi cerita Desa Wates.
Anggaran
|
Realisasi
Rp. 1,000,000 | Rp. 1,000,000 |
Anggaran
|
Realisasi
Rp. 500,000 | Rp. 500,000 |
Anggaran
|
Realisasi
Rp. 800,000 | Rp. 800,000 |
Anggaran
|
Realisasi
Rp. 1,000,000 | Rp. 1,000,000 |
Anggaran
|
Realisasi
Rp. 500,000 | Rp. 500,000 |
Kirim Komentar